Saya kedatangan tamu tak terduga. Nama beliau sangat
melekat dalam benak saya karena saya pernah menulis ‘biografi’ terkait
kelahiran sampai kematian beliau. Patih Haryo Suman alias Patih Haryo Sengkuni
namanya.
“Benarkah panjenengan
ini Paduka Patih Haryo Sengkuni?” konfirmasi saya. Takut salah orang. Wajah
dan pakaiannya memang sama persis dengan yang saya lihat di dunia pewayangan.
Namun kecermatan dalam pemastian identitas seseorang, memang saya kedepankan.
Takut saya salah deteksi, misalnya saya kira Semar, ternyata Sengkuni! Atau
malah sebaliknya.
“Benar,” jawab Sengkuni mantap. “Saya Sengkuni asli.
Sengkuni sejati. Sejatinya Sengkuni itu saya.”
Ada muatan rasa bangga di balik pernyataan Sengkuni.
Terserah beliau bangga sebagai Sengkuni. Orang bebas-bebas merasa bangga atas
identitasnya. Bangga sebagai Cakil, bangga sebagai Buto Terong, bangga sebagai
Dasamuka, bangga Lesmana Mandrakumara, bangga sebagai Gunawan Wibisana, atau
pun kebanggaan-kebanggaan lainnya.
“Terima kasih, Paduka Patih. Ehm..., saya pernah menulis
tentang panjenengan dalam bentuk
novel dengan judul Musnahnya Sengkuni.
Tulisan saya itu memang fiksi, tapi berdasar berbagai sumber bonafide. Intinya
Sengkuni sudah mati. Lho kok sekarang tiba-tiba ada sosok Sengkuni yang datang
kemari dengan stempel ‘sejati’, ‘asli’, ‘original’, dan istilah yang semakna.
Ini bagaimana maksudnya, Paduka Patih?”
“Sengkuni memang sudah mati, secara fisik,” kata Sengkuni.
“Tapi secara psikis, secara nonfisik, ideologi Sengkuni tidak pernah mati.
Ideologi Sengkuni selalu hidup dan hadir di sepanjang zaman. Pada zaman apa
pun, Sengkuni pasti ada. Jangan khawatir..., ideologi Sengkuni tidak pernah
mati, hehehe....”
Saya kaget mendengar pernyataan Sengkuni yang di luar
dugaan. Saya dan kebanyakan orang berpikir, bersamaan kematian Sengkuni, maka
musnah juga segala provokasi, taktik licik, dan berbagai cara culas yang
dilakukan manusia. Namun dugaan saya meleset jauh.
“Terima kasih atas pencerahannya, Paduka Patih,” kata saya
sambil menunduk hormat. “Mumpung ada kesempatan, saya ingin mengajukan sebuah
pertanyaan. Apa makna merdeka menurut pendapat Paduka Patih Sengkuni?”
“Hehehe..., sebelumnya mohon maaf kalau pendapat saya ini
nanti kurang berkenan,” ucap Sengkuni sambil tertawa ringan. “Menurut saya,
merdeka itu bebas. Bebas untuk mengadu domba, bebas untuk menindas, bebas
memprovasi, bebas berbuat culas, bebas melakukan segala bentuk perbuatan yang
melanggar etika, bebas menjarah harta negara, dan bebas melakukan apa saja yang
penting saya, keponakan-keponakan, anak-anak, dan semua kolega saya tetap
berkuasa di negara Astina.”
Saya mengangguk-angguk paham. Atau menurut saya paham. Atau
bisa juga merasa paham.
“Jadi menurut Paduka Patih, merdeka itu pada hakikatnya
bebas sebebas-bebasnya?” tanya saya minta pemastian.
“Iya,” Sengkuni menjawab dengan nada yakin.
“Lho..., sebentar..., bukankah itu namanya kebebasan
mutlak, Paduka Patih? Di jagat raya ini tidak ada yang namanya kebebasan mutlak
ala manusia. Kebebasan yang dilakukan manusia pasti ada batasnya, rambu-rambu
yang membatasi. Tak ada kebebesan mutlak untuk manusia.”
“Saya tidak mengatakannya demikian, tapi kalau kamu
menamainya seperti itu, terserah saja! Kamu manusia merdeka. Kamu bebas
berpendapat. Kamu juga bebas secara mutlak untuk melakukan apa saja semaumu.
Saya tandaskan, itu makna merdeka versi saya lho ya. Merdeka versi Sengkuni. Bukan
versi yang lain. Kamu percaya, boleh. Tidak percaya, silakan! Kalau mau
menentang pendapat saya, juga tidak saya larang. Ini zaman sudah merdeka kok!
Tidak ada lagi istilah pengekangan. Tidak ada lagi pelarangan kebebasan
berpendapat.”
Saya terdiam cukup lama untuk merenungi perkataan Sengkuni.
Bulu kuduk saya terasa berdiri. Ada rasa merinding dalam jiwa ini. Tidak mampu
membayangkan betapa mengerikannya kalau makna merdeka ala Sengkuni ini diikuti
banyak orang. Satu orang saja, yakni Sengkuni, yang menerapkan prinsip dasar
seperti itu, akibatnya sungguh buruk. Terjadinya perang besar antara Astina
melawan Amarta tidak lepas dari penerapan makna merdeka model Sengkuni.
Apa perang saudara itu bakal terjadi di negara-negara lain
kalau makna merdeka dari Sengkuni diwujudkan oleh para pengikut ideologi
Sengkuni? Sebuah pertanyaan yang menggelitik hati saya. Tentu saja saya,
seperti manusia pada umumnya, tidak berharap terjadi perang saudara yang
berakibat porak-porandanya sebuah negara.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar