Sabtu, 17 Agustus 2024

MAKNA MERDEKA VERSI SENGKUNI

 

Saya kedatangan tamu tak terduga. Nama beliau sangat melekat dalam benak saya karena saya pernah menulis ‘biografi’ terkait kelahiran sampai kematian beliau. Patih Haryo Suman alias Patih Haryo Sengkuni namanya.

“Benarkah panjenengan ini Paduka Patih Haryo Sengkuni?” konfirmasi saya. Takut salah orang. Wajah dan pakaiannya memang sama persis dengan yang saya lihat di dunia pewayangan. Namun kecermatan dalam pemastian identitas seseorang, memang saya kedepankan. Takut saya salah deteksi, misalnya saya kira Semar, ternyata Sengkuni! Atau malah sebaliknya.

“Benar,” jawab Sengkuni mantap. “Saya Sengkuni asli. Sengkuni sejati. Sejatinya Sengkuni itu saya.”

Ada muatan rasa bangga di balik pernyataan Sengkuni. Terserah beliau bangga sebagai Sengkuni. Orang bebas-bebas merasa bangga atas identitasnya. Bangga sebagai Cakil, bangga sebagai Buto Terong, bangga sebagai Dasamuka, bangga Lesmana Mandrakumara, bangga sebagai Gunawan Wibisana, atau pun kebanggaan-kebanggaan lainnya.

“Terima kasih, Paduka Patih. Ehm..., saya pernah menulis tentang panjenengan dalam bentuk novel dengan judul Musnahnya Sengkuni. Tulisan saya itu memang fiksi, tapi berdasar berbagai sumber bonafide. Intinya Sengkuni sudah mati. Lho kok sekarang tiba-tiba ada sosok Sengkuni yang datang kemari dengan stempel ‘sejati’, ‘asli’, ‘original’, dan istilah yang semakna. Ini bagaimana maksudnya, Paduka Patih?”

“Sengkuni memang sudah mati, secara fisik,” kata Sengkuni. “Tapi secara psikis, secara nonfisik, ideologi Sengkuni tidak pernah mati. Ideologi Sengkuni selalu hidup dan hadir di sepanjang zaman. Pada zaman apa pun, Sengkuni pasti ada. Jangan khawatir..., ideologi Sengkuni tidak pernah mati, hehehe....”

Saya kaget mendengar pernyataan Sengkuni yang di luar dugaan. Saya dan kebanyakan orang berpikir, bersamaan kematian Sengkuni, maka musnah juga segala provokasi, taktik licik, dan berbagai cara culas yang dilakukan manusia. Namun dugaan saya meleset jauh.

“Terima kasih atas pencerahannya, Paduka Patih,” kata saya sambil menunduk hormat. “Mumpung ada kesempatan, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Apa makna merdeka menurut pendapat Paduka Patih Sengkuni?”

“Hehehe..., sebelumnya mohon maaf kalau pendapat saya ini nanti kurang berkenan,” ucap Sengkuni sambil tertawa ringan. “Menurut saya, merdeka itu bebas. Bebas untuk mengadu domba, bebas untuk menindas, bebas memprovasi, bebas berbuat culas, bebas melakukan segala bentuk perbuatan yang melanggar etika, bebas menjarah harta negara, dan bebas melakukan apa saja yang penting saya, keponakan-keponakan, anak-anak, dan semua kolega saya tetap berkuasa di negara Astina.”

Saya mengangguk-angguk paham. Atau menurut saya paham. Atau bisa juga merasa paham.

“Jadi menurut Paduka Patih, merdeka itu pada hakikatnya bebas sebebas-bebasnya?” tanya saya minta pemastian.

“Iya,” Sengkuni menjawab dengan nada yakin.

“Lho..., sebentar..., bukankah itu namanya kebebasan mutlak, Paduka Patih? Di jagat raya ini tidak ada yang namanya kebebasan mutlak ala manusia. Kebebasan yang dilakukan manusia pasti ada batasnya, rambu-rambu yang membatasi. Tak ada kebebesan mutlak untuk manusia.”

“Saya tidak mengatakannya demikian, tapi kalau kamu menamainya seperti itu, terserah saja! Kamu manusia merdeka. Kamu bebas berpendapat. Kamu juga bebas secara mutlak untuk melakukan apa saja semaumu. Saya tandaskan, itu makna merdeka versi saya lho ya. Merdeka versi Sengkuni. Bukan versi yang lain. Kamu percaya, boleh. Tidak percaya, silakan! Kalau mau menentang pendapat saya, juga tidak saya larang. Ini zaman sudah merdeka kok! Tidak ada lagi istilah pengekangan. Tidak ada lagi pelarangan kebebasan berpendapat.”

Saya terdiam cukup lama untuk merenungi perkataan Sengkuni. Bulu kuduk saya terasa berdiri. Ada rasa merinding dalam jiwa ini. Tidak mampu membayangkan betapa mengerikannya kalau makna merdeka ala Sengkuni ini diikuti banyak orang. Satu orang saja, yakni Sengkuni, yang menerapkan prinsip dasar seperti itu, akibatnya sungguh buruk. Terjadinya perang besar antara Astina melawan Amarta tidak lepas dari penerapan makna merdeka model Sengkuni.

Apa perang saudara itu bakal terjadi di negara-negara lain kalau makna merdeka dari Sengkuni diwujudkan oleh para pengikut ideologi Sengkuni? Sebuah pertanyaan yang menggelitik hati saya. Tentu saja saya, seperti manusia pada umumnya, tidak berharap terjadi perang saudara yang berakibat porak-porandanya sebuah negara.

Spirov Lengking, 420280712145

*****

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar